PJalananSuku Jawa adalah suku bangsa terbesar yang ada di Indonesia dengan jumlah sekitar 120 juta jiwa atau sekitar 45% populasi manusia di Nusantara. Buka CeritaHantu-Hantu di Jawa Kuno; Selanjutnya. Tutup. Sosbud Pilihan. Wdihan dan Ken, Simbol Status Orang yang Memakainya di Jawa Kuno . 3 April 2021 11:06 Diperbarui: 3 April 2021 11:09 1661 4 0 + Laporkan Akun. Lihat foto Kain yang digunakan kaum bangsawan Jawa (idntimes.com) Secara sederhana kebutuhan dasar seorang manusia di Semogadapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian. 20+ trend terbaru kata bijak jawa kuno lucu. Source: www.brilio.net. 20+ trend terbaru kata bijak jawa kuno lucu. Maka dari itu, kamu harus memuliakannya. Kata Bijak Bahasa Jawa Tentang Cinta. Kata mutiara bahasa jawa kerap dijadikan banyak orang sebagai penyemangat untuk menjalani hidup. PerempuanTerpelajar Masa Jawa Kuno. Menurut Sejarawan Suwardono kriteria menempatkan perempuan dalam tipe tertentu awalnya bersumber dari India. "Naskah mengenai kriteria perempuan itu tidak ditemukan, namun pada masa itu ketentuan untuk menempatkan sosok perempuan pada tipe tertentu secara umum telah dikenal," tulis Suwardono dalam Tafsir PetaPulau Jawa Kuno yang dibuat Henri Chatelain, Amsterdam tahun 1718 (Foto: wikipedia) Editor: Faizal R Arief. TIMESINDONESIA, JAKARTA - Gambar peta Jawa kuno ternyata banyak sekali versinya. Sekitar akhir abad 16 (1570), Abraham Ortellius, kartografer tersohor dari Belgia pernah menerbitkan peta pulau Jawa kuno dengan judul "Indiae OrangChina kuno juga sangat mementingkan pemakaman sebagai penghormatan kepada almarhum, yang dianggap sebagai salah satu ritual terpenting bagi kehidupan setiap orang.. Hal terpenting dalam pemakaman adalah pemilihan perlengkapan pemakaman dan pembangunan makam. Baca juga: VIRAL Restoran Berada di Kuburan Ramai Dikunjungi, Para Pembeli Menikmati Makan Dikelilingi 12 Makam Ditanyasoal orang Jawa yang pertama datang ke wilayah Ciracap, Kabupaten Sukabumi, tepatnya di Jaringao, Ada Ratusan Makam Kuno Orang Arab di Indramayu, Begini Asal-usulnya "Semuanya makam orang Arab, ada sekitar 121 makam," ujarnya. Selengkapnya 08:33 WIB. Pekerja Waskita Tidak Laporkan Penemuan Nisan Makam Kuno, Budayawan Palembang ApakahAnda mencari gambar tentang Foto Orang Jawa Kuno? Jelajahi koleksi gambar, foto, dan wallpaper kami yang sangat luar biasa. Gambar yang baru selalu diunggah oleh anggota yang aktif setiap harinya, pilih koleksi gambar lainnya dibawah ini sesuai dengan kebutuhan untuk mulai mengunduh gambar. Namabayi Jawa kuno menurut Mama punya makna dan penyebutan yang indah. Beberapa orang mungkin menganggap kalau nama dari bahasa daerah itu kuno dan ketinggalan zaman. Tetapi sebenarnya enggak sama sekali! Nama bayi dari bahasa daerah juga enggak kalah baiknya dengan nama yang modern, Ma. Nama-nama ini punya arti nama yang penuh dengan doa dan NamaBayi Jawa Kuno untuk Laki-laki Abjad A-C. Abiroma: Sosok seseorang yang menyenangkan; Abiseka: Dijunjung, diangkat, dinobatkan, dan diharapkan menjadi anak yang diangkat derajatnya; Abinaya: Semangat Agnibrata : Bersikap dan bertindak hangat Agra : Tinggi Arganta: Berkedudukan tinggi Ardiman: Sosok pria yang tegas dan tegar seperti gunung; Ardiona: Lelaki yang memiliki jiwa teguh gug4d. Adegan Sinta dan Trijata yang memakai kemben dan kain dalam relief Ramayana di Candi Panataran, Blitar. blog Indonesieverleden. TAK kalah menawan dengan Putri Indumati, ina dan uwa-nya, bersolek mengenakan baju merah. Keduanya belum terlalu tua. Rambut mereka bergelombang, diselingi warna kelabu. Lalu para dayang belia datang bagaikan dewi, mengenakan kemben kain wulang emas. Selendang emas murni yang mereka sampirkan pada bahu tampak berkilauan seperti sayap untuk terbang. Mereka masih keturunan bangsawan sahabat raja. Mereka tengah menghadiri sayembara memperebutkan Putri Indumati. Suasana itu diungkapkan oleh Mpu Monaguna, pujangga dari Kadiri pada abad ke-13 M lewat karyanya Kakawin Sumanasāntaka. Dari gambaran singkat itu terbayang bagaimana pakaian orang-orang pada masa lalu. Selain dari karya sastra, informasi itu juga muncul dalam relief candi dan prasasti. Menurut Petrus Josephus Zoetmulder, ahli sastra Jawa Kuno, kain wulang adalah perangkat busana perempuan saat seremonial. Bentuknya secarik kain dengan panjang sekitar lima belas kaki yang dililitkan pada batang tubuh. Wulang menutupi tubuh dari pinggang sampai batas atas payudara. Perlengkapan sandang yang dipakai pada abad ke-13 M itu sedikit berbeda dengan cara berpakaian empat abad sebelumnya. Inda Citraninda Noerhadi dalam Busana Jawa Kuna mengelompokkan jenis pakaian yang dijumpai dalam relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur. Kebanyakan, khususnya perempuan, digambarkan tak menutupi bagian payudara. Pakaian perempuan paling sederhana hanya selembar kain. Panjangnya sebatas lutut. Cara pakainya diputar di badan dari arah kiri ke kanan dan berakhir di sisi kanan. Kain itu dipakai di bawah pusar. Mereka tak memakai perhiasan atau hanya anting-anting sederhana. Terkadang dilengkapi selendang atau kain kecil di bagian pinggang. Dalam relief itu, perempuan juga digambarkan memakai kain dari sebatas bawah pusar hingga mata kaki atau pergelangan kaki. Mereka biasanya pakai kalung, anting-anting, dan ikat pinggang berupa kain. Hiasan di kepala berupa rambut yang disusun ke atas atau disanggul. Sebagian yang lain, pakaiannya berupa kain panjang yang sama seperti sebelumnya. Namun, dihiasi dengan ikat di bagian pinggul dengan hiasan permata dua susun. Pakaiannya lebih kaya dengan beragam perhiasan, gelang, kalung, anting-anting, kelat bahu, gelang kaki. Dipakai juga semacam tali polos yang diselempangkan dari bahu kiri ke pinggang kanan. Hiasan kepalanya berupa susunan rambut yang diangkat tinggi dan diberi tambahan dengan hiasan permata. Sementara untuk pakaian pria, yang paling sederhana hanya memakai kain serupa cawat atau celana pendek. Ada pula yang memakai kain pendek sampai lutut atau kain panjang hingga mata kaki. Mereka memakai perhiasan seperti gelang, kalung dan anting-anting, ditambah ikat pinggang. Rambutnya disanggul dan diberi hiasan seperti bunga-bunga. Pakaian lengkap biasanya kain panjang dilengkapi ikat pinggang berhiasakan permata. Ikat dada, selempang kasta atau upavita. Perhiasannya ramai, seperti gelang, kalung, anting-anting, kelat bahu, dan gelang kaki. Hiasan kepalanya berupa mahkota yang tinggi berhias permata. Kelas Sosial Berdasarkan gambaran relief itu, Inda melihat masyarakat biasanya tak memakai perhiasan. Mereka yang berkedudukan tinggi secara sosial seperti bangsawan yang mampu memakai beragam perhiasan, seperti mangkota, anting, kelat bahu, kalung, gelang, gelang kaki, dan sebagainya. “Pada masyarakat berstatus rendah pakaian fungsinya menutupi dan melindungi, sedangkan untuk yang berstatus tinggi berfungsi menghias tubuh,” jelas Inda. Beda lagi dengan kaum brahmana. Para pendeta digambarkan berjubah yang bahu kanannya terbuka. Dalam prasasti para pendeta diberi pakaian khusus yang disebut sinhel. Hal yang sama diungkapkan catatan Sejarah Dinasti Liang dari abad ke-6 M. Di Jawa, baik pria maupun wanita tidak ada yang mengenakan penutup dada. Namun, mereka mengenakan sarung katun untuk menutupi bagian bawah tubuh. Rambut mereka dibiarkan tergerai. Sementara kalangan bangsawan dan raja mengenakan kain bergambar bunga yang tipis selendang untuk menutupi bagian atas tubuh. Mereka pun mengenakan ikat pinggang emas dan anting-anting emas. “Gadis-gadis muda menutupi tubuh mereka dengan kain katun dan mengenakan ikat pinggang sulam,” ungkap catatan yang diterjemahkan Groeneveltdt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa itu. Tak cuma dari cara berpakaian. Jenis kain pun menunjukkan identitas sosial. Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa mengungkapkan berdasarkan data prasasti pakaian laki-laki biasanya disebut wdihan. Sedangkan pakaian untuk perempuan disebut kain atau ken. “Saat upacara sima, di awal rangkaian acara pimpinan desa, yang mendapat anugerah sima dari raja, membagikan harta kekayaannya kepada anggota masyarakat yang berasal dari berbagai lapisan sosial, salah satunya pakaian,” jelas Supratikno. Supratikno menyebutkan beberapa jenis kain yang dikenal dalam sumber-sumber Jawa Kuno. Kain yang masuk dalam jenis wdihan adalah ganjar haju patra sisi, ganjar patra sisi, ganjar haji, ganjar patra, jaro haji, jaro, bwat kling putih, bwat pinilai, pinilai, bwat lwitan, kalyaga, pilih angsit, rangga, tapis, siwakidang, bira/wira, jaga, hamawaru, takurang, alapnya, sularikuning, ragi, pangalih, ambay-ambay, lunggar, bwat waitan, cadar, lwir mayang, putih, raja yoga, pamodana, ron paribu, suswan, prana, sulasih, tadahan, dan syami himi-himi. Sementara yang termasuk ken/kain adalah jaro, kalagya, pinilai, bwat wetan, bwat lor, pangkat, bwat ingulu, kalangpakan, atmaraksa. kaki, putih, rangga, dan kalamwetan. Kain-kain itu, menurut Inda, diberikan kepada seseorang sesuai status sosialnya. Dalam Prasasti Rukam 829 saka 907 M disebutkan kain jenis ganjar patra diberikan kepada Rakaryan mapatih i hino, gelar untuk putra sulung raja. Sementara dalam Prasasti Tunahan 794 saka 872 M ganjar patra diberikan kepada Sri Maharaja. Pilih maging dalam Prasasti Sangsang 829 saka juga diberikan kepada Sri Maharaja. Sementara dalam Prasasti Lintakan 841 saka kain yang sama diberikan kepada Rakryan i hino. “Di dalam Prasasti Poh 827 saka wdihan kalyaga diberikan kepada rakryan mapatih i hino, halu, sirikan, wka, sang pamgat tiruan,” jelas Inda. Di dalam Prasasti Mulak 800 saka 878 M disebutkan kain jenis wdihan rangga diberikan kepada makudur. Dalam Prasasti Humanding 797 saka 875 M wdihan angsit diberikan kepada samgat wadihati. Wdihan bira dalam Prasasti Kwak I 801 saka diberikan kepada pejabat halaran, pangkur, tawan, tirip, dan sebagainya. Dalam Prasasti Gandhakuti 1042 M disebutkan penerima hak istimewa diperbolehkan memakai apa saja yang biasa dipakai di dalam nagara. Mereka diperbolehkan memakai pakaian pola ringring bananten yang mungkin artinya kain halus, patarana benanten, kain berwarna emas, pola patah, ajon berpola belalang, berpola kembang, warna kuning, bunga teratai, berpola biji, kain awali, dulang pangdarahan, dodot dengan motif bunga teratai hijau, sadangan warna kunyit, kain nawagraha, dan pasilih galuh. “Contoh dalam kebudayaan Jawa sampai sekarang, red. ternyata terdapat aturan menggunakan pakaian yang berkaitan dengan status sosial,” kata Inda. “Pada penggunaan kain batik, ada motif yang merupakan pantangan.” Ilustrasi Gajah Mada. Foto Gunawan Kartapranata/wikimedia commonsBudaya Jawa mengenal penamaan diri yang diambil berdasarkan nama alam, religi, tumbuhan, binatang, dan sebagainya. Sumber karya sastra Jawa Kuno, umumnya cerita-cerita panji, banyak memuat nama-nama tokoh yang menggunakan nama diri dari nama binatang. Misalnya ada Kebo Kanigara, Kidang Walengka, Banyak Kapuk, Gagak Sumiring, Kidang Glatik, juga Gajah Mada yang tentu familiar di telinga orang Indonesia.“Tak hanya di cerita panji nama-nama semacam ini juga sebenarnya cukup banyak ditemui dalam nama-nama tokoh pada karya sastra seperti Pararaton dan Ranggalawe,” kata Sasongko, ahli epigrafi dari Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia PAEI dalam Diskusi Epigrafi Nusantara yang diadakan oleh PAEI pekan saat ini, studi tentang penggunaan nama hewan untuk nama orang pada zaman Jawa Kuno menurut Sasongko masih sangat terbatas. Namun topik ini sempat disinggung dalam tulisan beberapa peneliti Pigeaud, seorang ahli sastra Jawa dari Belanda, mengatakan bahwa fenomena penamaan ini terkait dengan panji-panjian bendera prajurit yang bergambar binatang. Setiap prajurit, menandai apa yang menjadi miliknya dengan gambar binatang.“Oleh karena itu, penamaan diri prajurit dengan nama binatang ini juga bersifat heraldic seni dalam menciptakan dan menghias lambang,” kata Pigeaud, ada juga de Caparis, seorang filolog dari Belanda yang menyepakati temuan Pigeaud. Dia mengatakan, bahwa fenomena penamaan ini dikaitkan dengan identitas mekasirkasir, istilah yang berasal dari kata kasir-kasir yang artinya panji-panjian atau Casparis juga menambahkan, penamaan nama depan diri dengan nama Gajah, Menjangan, Macan, dan Tikus, pada masa Kediri-Majapahit mengindikasikan golongan kasta ksatria atau profesi ketentaraan waktu menurut Edi Sedyawati, penulis yang juga arkeolog Indonesia, menyebutkan bahwa pemakaian nama diri dari nama binatang dan penyebutan titel makasirkasir dalam prasasti masa Kediri mengindikasikan golongan panji-panjian seseorang yang seringkali ditandai oleh lambang bergambar binatang.“Jadi pendapat Pigeaud, de Casparis, dan Sedyawati ini kurang lebih sama poinnya, dan cakupan bahasannya pun dari masa Kediri sampai Majapahit,” paling baru dituliskan oleh Agus Aris Munandar, guru besar UI di bidang arkeologi yang pada 2010 menuliskan bahwa dalam kaitannya dengan tokoh Gajah Mada, nama binatang yang dipakai sebagai nama depan merupakan bentuk representasi diri dari hewan tunggangan dewa Hindu, yakni Airawata yang merupakan tunggangan dewa Binatang Penghuni Ekosistem JawaDalam penelitiannya tentang topik yang sama, Sasongko mendapat kesimpulan bahwa nama-nama binatang yang digunakan oleh orang zaman Jawa Kuno sebagai nama diri kebanyakan adalah nama hewan endemik pulau Jawa atau hewan yang pernah mendiami pulau temuannya, nama binatang yang paling banyak digunakan sebagai nama diri secara berturut-turut di antaranya ada Kebo, Gajah, Gagak, Lembu, Macan, Menjangan, Minda, Banyak, Bandeng, Iwak, Katak, Kuda, Layar, Tikus, Anjing, Asu, Babi, Burung, Hayam, Kadal, Kancil, Kura, Lele, dan Lutung.“Menurut saya, ekosistem tampaknya cukup berpengaruh dalam kemunculan fenomena ini,” ujar itu, nama-nama seperti Makara, Naga, Sinha, Mahisya, menurutnya terpengaruh dari kebudayaan India. Selain faktor ekosistem, budaya agrikultur masyarakat Jawa Kuno waktu itu juga turut mempengaruhi penamaan diri. Hal itu ditandai dengan adanya nama-nama seperti Kebo, Sapi, Minda, Lembu, Banyak, Hayam, Babi, dan kemunculan nama-nama ini menurutnya ditandai dari masa Rakai Pikatan abad ke-9 M sampai masa Majapahit akhir atau awal abad ke-16 M. Sedangkan gejala terbanyak ditemukan pada masa Krtanegara, Kroncaryyadipa, dan Sarwweswara. Atau dari masa Kadiri pertengahan hingga Singhasari akhir.“Ini mungkin dapat dihubungkan dengan politik ekspansi atau diplomasi dari Krtanegara. Itu politik perluasan wilayah di luar pulau Jawa atau yang dikenal dengan Cakrawala Mandala Dwipantara yang melibatkan unsur-unsur militer,” mengacu pada konsep makna asosiatif Staffan Nystrom, nama-nama diri yang berasal dari nama binatang dapat dipersepsikan dengan wahana atau kendaraan dewa atau tokoh binatang mitologis Hindu-Buddha dan binatang tertentu yang dihargai dalam kebudayaan Jawa Kuno. Sehingga, nama binatang tertentu dapat diasosiasikan dengan dewa tertentu.“Jadi menurut saya para penyandangnya barangkali meyakini dan mengharapkan kekuatan dari sifat dewa atau hewan mitologi Hindu-Buddha tertentu termanifestasi dalam dirinya melalui penamaan diri dari nama binatang yang berasosiasi,” kata dan representasi kekuatan tersebut juga ada kemungkinan berlaku kepada hewan-hewan sakral dalam kepercayaan Jawa Kuno. Berdasarkan pencarian terhadap arti penting binatang dalam kebudayaan Jawa Kuno, nama Kebo, Hayam, Manjangan, dan Macan, merupakan hewan yang dianggap sakti dan mengandung kekuatan magis sehingga dijadikan persembahan untuk menangkal kekuatan jahat atau dikeramatkan karena dianggap sebagai penghubung dengan roh leluhur dan dunia umum, motivasi penamaan diri dengan nama binatang pada masa Jawa Kuno karena binatang-binatang tertentu dihargai.“Sebab dianggap memiliki peran penting dalam kebudayaan masyarakat sehingga menempati tempat istimewa di hati pemakainya,” itu menurutnya dipengaruhi oleh keterkaitannya dengan dewa-dewa, kedudukannya dalam mitologi Hindu-Buddha, sifat teladan yang tergambar dalam fabel-fabel keagamaan, serta perannya dalam kebudayaan masyarakat Jawa Kuno.“Fenomena tersebut merupakan salah satu bentuk perwujudan apresiasi budaya masyarakat Jawa Kuno terhadap alam sekitar,” ujar Sasongko. Widi Erha Pradana / YK-1 Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Apa Itu Etika Jawa Kuna?Etika Jawa Kuno adalah seperangkat nilai dan norma yang menjadi dasar perilaku orang Jawa pada masa lampau. Etika ini berkembang dan dilestarikan serta dilestarikan sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha di pulau Jawa. Etika Jawa Kuno didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang mengutamakan kebaikan, kerendahan hati, keterbukaan, kesederhanaan, rasa hormat, disiplin, toleransi, dan kebersamaan. Etika ini mendorong individu untuk hidup dengan aturan moral, berperilaku baik dan melayani Jawa Kuno juga menghubungkan kesuksesan dan kesuksesan individu dengan kesejahteraan sosial dan keseimbangan. Dalam etika ini, seseorang dinilai berhasil bila mampu membawa manfaat bagi masyarakat sekitar. Selain itu, etika Jawa kuno menekankan pentingnya persaudaraan, kerja sama, dan gotong royong dalam menjaga keharmonisan dan keseimbangan sosial. Salah satu nilai etika Jawa kuno yang paling penting adalah kebajikan, yang meliputi perilaku moral yang baik seperti kejujuran, kasih sayang, dan kebaikan kepada orang lain. Etika Jawa Kuno juga menekankan pentingnya menghormati orang tua, guru, dan yang lebih tua. Orang Jawa kuno percaya bahwa menghormati orang lain merupakan ukuran yang sangat penting dalam membangun hubungan baik antar anggota masyarakat. Etika Jawa kuno juga mengajarkan kesederhanaan, dimana masyarakat diajarkan untuk hidup sederhana dan tidak menyia-nyiakan barang atau makanan. Prinsip ini juga dianut dalam perilaku sosial, menunjukkan kerendahan hati dan merendahkan diri di depan orang lain. Keterbukaan dan kejujuran juga menjadi nilai penting dalam etika Jawa kuno. Orang Jawa kuno percaya bahwa tidak ada gunanya berbohong atau menyembunyikan apapun, karena kejujuran dan keterbukaan adalah dasar dari hubungan manusia yang baik dan dapat keras dan disiplin juga ditekankan dalam etika Jawa kuno, dimana individu diajarkan untuk bekerja keras dan disiplin yang kuat untuk mencapai tujuan hidup. Disiplin juga ditekankan dalam kehidupan sehari-hari dengan penggunaan yang bertanggung jawab dan menghargai dan kebersamaan juga menjadi nilai penting dalam budaya Jawa kuno. Orang Jawa kuno percaya bahwa tidak ada seorangpun yang dapat mencapai tujuan hidupnya sendirian, sehingga mereka selalu mencari persahabatan dan saling membantu. Toleransi juga menjadi kunci keharmonisan antar kelompok sosial yang berbeda. Secara keseluruhan, etika Jawa kuno mengajarkan nilai-nilai moral dan perilaku yang sangat pentingSejarah Etika Jawa KunaEtika Jawa Kuno memiliki sejarah yang panjang, berawal dari peradaban Hindu-Buddha yang masuk ke Indonesia pada abad ke-6. Kemudian, agama Hindu-Buddha membawa nilai-nilai moral dan etika yang kuat pada kebudayaan Jawa. Nilai-nilai tersebut kemudian diadopsi dan disesuaikan dengan nilai dan standar yang sudah ada dalam masyarakat Jawa saat itu. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Lihat Pendidikan Selengkapnya